Saturday, July 2, 2011

PEMBESARAN PROSTAT JINAK atau BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011)

BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011)

Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011)

Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011)

Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi korektif meningkat. (Detters, 2011)

Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate (TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters, 2011)

I.2. TUJUAN

Tujuan umum

Mengetahui tentang kelainan pada organ prostat.


Tujuan khusus

a. Mengetahui tentang makros dan mikros dari prostat.

b. Mengetahui tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, patofisiologi, gejala klinik, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis dari pembesaran prostat atau Benign Prostate Hyperplasia (BPH).

I.3. MANFAAT

Menambah wawasan dan keilmuan untuk penulis serta membantu pembaca khususnya teman-teman mahasiswa fakultas kedokteran lainnya untuk memahami tentang pembesaran prostat atau BPH.



BAB II

PEMBAHASAN

II.1. ANATOMI

Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars prostatica. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 1 ¼ inci atau 3 cm dan terletak di antara collum vesicae di atas dan diafragma urogenital di bawah. (Snell, 2006)



Gambar 1. Potongan sagital pelvis laki-laki


Prostat dikelilingi oleh kapsul fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang merupakan bagian lapisan visceral fascia pelvis. Prostat yang berbentuk kerucut mempunyai basis prostat yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum vesicae dan apex prostatae yang terletak di inferior dan berhadapan dengan diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian atas facies posterior prostatae untuk bermuara ke urethra pars prostatica pada pinggir lateral utriculus prostaticus. (Snell, 2006)




Gambar 2. Potongan koronal prostata (A), potongan sagital (B) dan potongan horizontal (C). Perhatikan muara ductus ejaculatorius pada pinggir utriculus prostaticus.


Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan seperti susu yang mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke semen pada waktu ejakulasi. Bila otot polos pada kapsul dan stroma berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke urethra pars prostatica. Sekret prostat bersifat alkalis dan menteralkan suasana asam di dalam vagina. (Snell, 2006)

Basis prostat berhubungan dengan collum vesicae. Otot polos prostat terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum vesicae. Uretra masuk pada bagian tengah basis prostat. (Snell, 2006)

Apeks prostat terletak pada facies superior diaphragma urogenitale. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apeks pada facies anterior. (Snell, 2006)

Facies anterior prostat berbatasan dengan symphysis pubica, dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat di dalam spatium retropubicum (cavum retzius). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan aspek posterior os pubis oleh ligamenta puboprostatica. Ligamenta ini terletak di samping kanan dan kiri linea mediana dan merupakan penebalan fascia pelvis. (Snell, 2006)

Facies posterior prostat berhubungan erat dengan facies anterior ampulla recti dan dipisahkan dari rectum oleh septum rectovesicale (fascia denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula meluas ke bawah sampai ke corpus perineale. (Snell, 2006)

Facies lateralis prostat difiksasi oleh serabut anterior musculus levator ani pada saat serabut ini berjalan ke posterior dari pubis. (Snell, 2006)

Prostat secara tidak sempurna terbagi menjadi lima lobus, yaitu (Snell, 2006) :

a. Lobus anterior : terletak di depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar.

b. Lobus posterior : terletak di belakang uretra dan di bawah ductus ejaculatorius, juga mengandung kelenjar.

c. Lobus medius atau lobus medianus : kelenjar berbentuk baji yang terletak di antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan atas lobus medius berhubungan dengan trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar.

d. Lobi prostatae dexter dan sinister : terletak di samping uretra dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostatae.

e. Lobi laterales : mengandung banyak kelenjar

Pendarahan pada prostat memiliki cabang a. vesicalis inferior dan a. rectalis media dengan vena membentuk plexus venosus prostaticus yang terletak di antara capsula prostatica dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menampung darah dari v. dorsalis profunda penis dan sejumlah v. vesicales selanjutnya bermuara ke v. iliaca interna. (Snell, 2006)

Pembuluh limf dari prostat mengalirkan cairan limf ke nodi iliaci interni. Persarafan prostat berasal dari plexus hypogastricus inferior. Saraf simpatis merangsang otot polos prostat saat ejakulasi. (Snell, 2006)

II.2. HISTOLOGI

Prostat melingkari pangkal uretra yang keluar dari kandung kemih. Kelenjar tersebut merupakan kumpulan dari 30-50 kelenjar tubuloalveolar kompleks yang kecil-kecil, bermuara ke dalam urethtra pars prostatika, melalui 15 sampai 30 saluran keluar kecil. Unsur-unsur kelenjar tersebar pada tiga daerah yang berlainan dan tersusun konsentris mengelilingi uretra. Kelenjar-kelenjar kecil terletak di mukosa dan dikelilingi oleh kelenjar-kelenjar submukosa. (Junqueira, 2007)

Kelenjar utama terletak di bagian tepi dan merupakan bagian terbesar dari kelenjar. Keseluruhan kelenjar dibungkus oleh simpai fibroelastik yang mengandung banyak serat otot polos di sebelah dalam dan kaya akan pleksus vena. Bagian-bagian kelenjar terbenam di dalam stroma padat yang di bagian tepi berlanjut pada simpai. Stromanya juga fibroelastik dan mengandung sejumlah berkas serat otot polos. Alveoli dan tubuli kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk dan ukurannya. (Junqueira, 2007)



Gambar 3. Kelenjar Prostat dengan Uretra Pars Prostatika. Pulasan H.E. pembesaran lemah


Alveoli dan tubuli bercabang berkali-kali, keduanya memiliki lumen yang lebar. Lamina basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya selapis atau bertingkat dan bervariasi dari silindris sampai kubis rendah, tergantung pada status endokrin dan kegiatan kelenjar. Sitoplasma mengandung banyak butir sekret, lisosom dan butir lipid. Saluran keluar mempunyai lumen yang tidak teratur dan mirip tubuli sekretoris yang kecil. (Junqueira, 2007)




Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Gambar 4. Kelenjar prostat (potongan seksional kelenjar-kelenjar prostat). Pulasan H.E. pembesaran sedang


Sekret prostat merupakan cairan seperti susu, bersifat agak alkalis, kaya dengan enzim proteolitik, terutama fibrinolisin yang membantu pencairan semen. Sekret juga mengandung sejumlah besar fosfatase asam. Pada kanker prostat terdapat peningkatan kadar enzim fosfatase asam di dalam darah. Pada gambaran histologi, sekret terlihat sebagai massa granular yang asidofilik. Seringkali mengandung badan-badan bulat atau bulat telur disebut konkremen prostat (corpora amilase) yang merupakan kondensasi sekret yang mungkin mengalami perkapuran. (Junqueira, 2007)

Prostat mempunyai tiga zona yang berbeda, antara lain (Lesson and Paparo, 1995) :

a. Zona sentralis. Zona ini memiliki epitel bertingkat dan meliputi 25% dari volume kelenjar.

b. Zona perifer. Kelenjar prostat memiliki 70% zona perifer yang terdiri dari banyak epitel biasa dan merupakan tempat utama terjadinya kanker prostat.

c. Zona transisional. Mempunyai arti klinik yang penting karena merupakan tempat sebagian besar BPH berasal.


II.3. PEMBESARAN PROSTAT JINAK atau BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

a. Definisi

Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostate Hyperplasia) adalah pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat yang menyebabkan prostat membesar. Biasanya untuk mendiagnosis BPH ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar mungkin timbul dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan di program kematian sel (apoptosis) atau keduanya. (Detters, 2011)

BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia yang mungkin menghasilkan pembesaran prostat yang dapat membatasi aliran urin dari kandung kemih. (Detters, 2011)




Normal 0 false false false false IN X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Gambar 5. Hiperplasia nodular prostat. Nodus-nodus berbatas tegas menonjol dari permukaan potongan. Dekatnya letak nodus dengan uretra merupakan penyebab obstruksi kemih yang terjadi pada penyakit ini.

a. Epidemiologi

BPH merupakan masalah umum yang mempengaruhi kualitas hidup di sekitar sepertiga pria yang lebih tua dari 50 tahun. BPH sangat jelas terjadi secara histologi hingga 90% pria dengan usia 85 tahun. Sebanyak 14 juta pria di Amerika Serikat memiliki gejala BPH. Seluruh dunia, sekitar 30 juta pria memiliki gejala yang berhubungan dengan BPH. (Detters, 2011)

Prevalensi BPH pada orang kulit putih dan Afrika-Amerika mirip. Namun, BPH cenderung lebih parah dan progresif di Afrika-Amerika. Mungkin karena tingkat testosteron tinggi, aktivitas 5-alpha-reductase, ekspresi reseptor androgen dan aktivitas faktor pertumbuhan pada populasi ini. Aktivitas meningkat menyebabkan tingkat peningkatan hiperplasia prostat dan pembesaran prostat. (Detters, 2011)

b. Etiologi

Penyebabnya tidak diketahui, mungkin akibat adanya perubahan kadar hormon yang terjadi karena proses penuaan. Kelenjar prostat mengelilingi uretra (saluran yang membawa air kemih keluar dari tubuh), sehingga pertumbuhan pada kelenjar secara bertahap akan mempersempit uretra. Pada akhirnya aliran air kemih mengalami penyumbatan. Akibatnya otot-otot pada kandung kemih tumbuh menjadi lebih besar dan lebih kuat untuk mendorong air kemih keluar. (Detters, 2011)

Jika seseorang penderita BPH berkemih kandung kemihnya tidak sepenuhnya kosong. Air kemih tertahan di dalam kandung kemih, sehingga penderita mudah mengalami infeksi dan membentuk batu. Penyumbatan jangka panjang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal. Pada penderita BPH pemakaian obat yang mengganggu aliran kemih (misalnya anti-histamin yang dijual bebas) bisa menyebabkan sumbatan. (Detters, 2011)

c. Patogenesis

Tidak seperti lonjakan pertumbuhan pubertas yang mengenai kelenjar secara difus, hiperplasia prostat berawal di daerah periuretra sebagai proliferasi lokal dan berkembang untuk menekan kelenjar normal sisanya. Secara histologis, jaringan hiperplasia tampak noduler dan terdiri dari epitel kelenjar, stroma dan otot polos dengan jumlah bervariasi. Hiperplasia dapat tumbuh ke arah posterior dan menyumbat rektum sehingga menimbulkan konstipasi. (Braunwald, dkk. 2000)

Patogenesis penyakit ini belum diketahui sepenuhnya, tetapi dua faktor yang berperan adalah penuaan dan adanya testis. Yang memperantai pertumbuhan prostat pada semua usia adalah dihidrotestosteron (DHT), yang terbentuk di dalam prostat dari testosteron plasma. Kadar estradiol pada laki-laki meningkat seiring dengan usia (secara absolut atau relatif terhadap kadar testosteron). Dengan demikian, peran penuaan dalam pembentukan hiperplasia prostat dapat dijelaskan jika estradiol pada manusia meningkatkan kerja DHT. (Braunwald, dkk. 2000)

d. Patofisiologis

Prostat normal terdiri atas elemen kelenjar dan stroma yang mengelilingi uretra. Parenkim prostat dapat dibagi menjadi beberapa regio yang secara biologis berbeda tapi yang terpenting adalah zona-zona dari prostat yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional dan periuretra. Jenis proliferatif pada setiap regio berbeda. Sebagai contoh, sebagian besar lesi hiperplastik terjadi di zona sentral dan transisional dalam prostat, sedangkan sebagian karsinoma (70% hingga 80%) timbul di zona perifer. (Robbins, 2007)



Gambar 5. Prostat dewasa. Prostat normal yang mengandung beberapa regio berbeda, termasuk zona sentral (ZS), zona perifer (ZP), zona transisional (ZT) dan zona periuretra.

Hiperplasia nodular, juga disebut hiperplasia kelenjar dan stroma, merupakan kelainan prostat yang sangat sering ditemukan. Kelainan ini cukup banyak ditemukan pada laki-laki berusia 40 tahun dan frekuensinya meningkat secara progresif seiring usia mencapai 90% pada dekade kedelapan. Hiperplasia prostat ditandai dengan proliferasi elemen epitel dan stroma yang menyebabkan kelenjar membesar dan pada sebagian kasus obstruksi aliran kemih. “Hipertrofi prostat jinak” (benign prostatic hypertrophy, BPH), sinonim untuk hiperplasia nodular prostat yang sudah dikenal lama, merupakan nama yang berlebihan dan tidak tepat, karena tidak semua hipertrofi bersifat jinak dan lesi mendasar adalah hiperplasia bukan hipertrofi. (Robbins, 2007)

Meskipun penyebab hiperplasia nodular masih belum sepenuhnya dipahami, bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa androgen dan estrogen berperan sinergistik dalam pembentukannya. Sudah jelas bahwa untuk terjadinya hiperplasia nodular dibutuhkan testis yang utuh. Hiperplasia nodular tidak terjadi pada laki-laki yang dikebiri sebelum onset pubertas, sesuai dengan peran sentral androgen dalam patogenesisnya. (Robbins, 2007)

Dihidrotestosteron (DHT), suatu androgen yang berasal dari testosteron melalui kerja 5α-reduktase dan metabolitnya, 3α-androstanediol, tampaknya merupakan hormon pemicu utama terjadinya proliferasi kelenjar dan stroma pada pasien dengan hiperplasia nodular. (Robbins, 2007)

DHT berikatan dengan reseptor pada nukleus dan pada gilirannya, merangsang sintesis DNA, RNA, faktor pertumbuhan dan protein sitoplasma lainnya, yang kemudian menyebabkan hiperplasia. Hal ini menjadi dasar penggunaan inhibitor 5α-reduktase dalam terapi hiperplasia nodular simtomatik. Namun yang mengherankan adalah bahwa hiperplasia nodular prostat secara klinis semakin bermanifestasi pada laki-laki usia lanjut, saat kadar testosteron telah stabil atau mulai menurun. Selain itu pemberian testosteron tidak menyebabkan eksaserbasi hiperplasia nodular. Pengamatan ini mengisyaratkan bahwa faktor di luar aktifitas androgenik juga perlu dipertimbangkan dalam patogenesis penyakit ini. Penelitian eksperimental mengisyaratkan bahwa peningkatan kadar estrogen terkait usia mungkin berperan dalam pembentukan hiperplasia nodular dengan meningkatkan ekspresi reseptor DHT di sel parenkim prostat sehingga DHT semakin kuat. (Robbins, 2007)

Karena DHT semakin kuat terjadilah hiperplasia prostat yang menyebabkan penyempitan lumen pada uretra dan menyebabkan tekanan intra vesikal meningkat. Kemudian buli-buli tertekan sehingga dapat menyebabkan hipertrofi otot detrusor, trabekulasi dan divertikel buli-buli. Karena penekanan tersebut dapat menyebabkan ginjal dan ureter menjadi refluks, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal dan pionefrosis pilonefritis. (Robbins, 2007)

a. Gejala klinik

Gejala klinik hiperplasia prostat terjadi pada hanya sekitar 10% laki-laki yang mengidap kelainan ini. Karena hiperplasia nodular terutama mengenai bagian dalam prostat, maka manifestasinya yang tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah. Gejala ini mencakup kesulitan memulai aliran urine (hesitancy) dan interupsi intermiten aliran urine sewaktu berkemih. Pada beberapa pasien dapat terjadi obstruksi total aliran kemih yang menyebabkan peregangan kandung kemih yang nyeri dan kadang-kadang hidronefrosis. (Robbins, 2007)

Gejala obstruksi sering disertai oleh urgency, frequency dan nocturia, yang semuanya menunjukkan iritasi kandung kemih. Kombinasi urine residual dikandung kemih dan obstruksi kronis meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. (Robbins, 2007)

b. Diagnosis

Obstruksi uretra terjadi akibat pemanjangan serta penekanan uretra posterior, tetapi tidak terdapat hubungan langsung antara obstruksi dan ukuran prostat, bahkan obstruksi yang parah dapat terjadi walaupun hiperplasia tidak melebihi ukuran kelenjar normal. Gejala awal mungkin minimal karena hipertrofi kompensatorik otot-otot detrusor kandung kemih untuk mengatasi retensi aliran urin. Seiring dengan meningkatnya obstruksi, muncul penciutan kaliber dan tekanan arus urin, kesulitan memulai berkemih, urin yang menetes setelah berkemih, perasaan berkemih tidak terlampiaskan dan kadang retensi urin. Gejala obstruktif ini harus dibedakan dengan gejala iritatif misalnya disuria, polakisuria dan urgency yang juga dapat disebabkan oleh peradangan, infeksi, obat penenang atau alkohol. Kadang-kadang obstruksi berat dapat dikompensasi sedemikian sehingga gejala minimal atau absen dan pasien datang dengan uropati obstruktif. (Braunwald, dkk. 2000)

Pada waktu pemeriksaan rektum dengan jari, harus ditentukan karakteristik prostat yaitu ukuran, konsistensi dan bentuk. Hiperplasia sering menyebabkan pembesaran yang mulus, padat dan elastik tetapi obstruksi dapat tejadi tanpa ditemukan kelainan pada pemeriksaan rektum. Ultrasonografi dengan probe rektum atau pencintraan resonansi magnetik memungkinkan perkiraan kuantitatif ukuran prostat tetapi biasanya tidak memberi keterangan yang melebihi dari pemeriksaan rektum. Adanya obstruksi saluran kemih atas dan tingkat pengosongan kandung kemih dapat diketahui dengan pielogram intravena dengan foto setelah berkemih (postvoiding) atau sonogram ginjal dengan penentuan sonografik urin residual pada kandung kemih. Sistouretroskopi diindikasikan untuk mengevaluasi obstruksi leher vesikel. (Braunwald, dkk. 2000)

c. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang biasa dilakukan pada penderita BPH dapat dilakukan dengan cara pengobatan dan pembedahan. Berikut dengan cara pengobatan dengan menggunakan (Detters, 2011) :

1. Alfa 1-blocker

Contohnya doxazosin, prazosin, tamsulosin dan terazosin.
Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran (relaksasi) otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih.

2. Finasterid
Finasterid menyebabkan berkurangnya kadar hormon prostat sehingga memperkecil ukuran prostat. Obat ini juga menyebabkan meningkatnya laju aliran air kemih dan mengurangi gejala. Tetapi diperlukan waktu sekitar 3-6 bulan sampai terjadinya perbaikan yang berarti. Efek samping dari finasterid adalah berkurangnya gairah seksual dan impotensi.

3. Obat lainnya

Untuk mengobati prostatitis kronis, yang seringkali menyertai BPH, diberikan antibiotik.

Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami komplikasi seperti (Detters, 2011) :

1. Inkontinensia urin

2. Hematuria (darah dalam air kemih)

3. Retensio uri (air kemih tertahan di dalam kandung kemih)

4. Infeksi saluran kemih berulang.

Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta ukuran dan bentuk kelenjar prostat. Berikut contoh pembedahan yang dilakukan terhadap pasien, antara lain (Detters, 2011) :

1. TURP (trans-urethral resection of the prostate)

TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan.
Endoskopi dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. Pada penderita yang menjalani TURP, 88% mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6% penderita dan 1% penderita mengalami inkontinensia uri.

2. TUIP (trans-urethral incision of the prostate)

TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki prostat relatif kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadi perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra dan impotensi.

3. Prostatektomi terbuka.

Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang kemaluan atau di retropubik dan diatas tulang kemaluan (suprapubik) atau di daerah perineum (dasar panggul yang meliputi daerah skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarang digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencapai 50%. Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32% tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia urin (kurang dari 1%).

Pengobatan lainnya yang efektivitasnya masih dalam penelitian adalah hipertermia, terapi laser dan prostatic stents. Jika derajat penyumbatannya masih minimal, bisa dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut (Detters, 2011) :

1. Mandi air panas

2. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul

3. Melakukan aktivitas seksual seperti biasanya

4. Menghindari alkohol

5. Menghindari asupan cairan yang berlebihan (terutama pada malam hari)

6. Untuk mengurangi nocturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum tidur

7. Penderita BPH sebaiknya menghindari pemakaian obat yang mengandung dekongestan karena bisa meningkatkan gejala BPH.

d. Prognosis

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. (Detters, 2011)




BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. KESIMPULAN

Prostat merupakan sebuah kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars prostatica. Semakin tua laki-laki tersebut, memiliki potensi untuk terkena pembesaran prostat atau benign prostat hyperplasia (BPH). Pembesaran akan menyebabkan komplikasi refluks, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal dan pionefrosis pilonefritis. Biasanya penanganan pasti pada BPH adalah pembedahan dengan cara TURP, TUIP dan prostatektomi terbuka.

III.2. SARAN

Laksanakanlah pola hidup sehat dan waspadalah terhadap faktor resiko terhadap BPH terutama bagi pria yang berumur lebih dari 50 tahun. Apabila mengalami keluhan yang mengarah ke penyakit BPH, segera hubungi dokter terdekat agar dapat ditindak lanjut sejak dini.




DAFTAR PUSTAKA

Braunwald, E.; Isselbacher, K.J.; dkk. 2000. Harrison Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. EGC : Jakarta.

Deters, Levi A. 2011. Benign Prostatic Hypertrophy (on-line). Medscape Reference. Diakses 22 Juni 2011.

Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional ed.9. EGC : Jakarta.

Junqueira, L.C and Carneiro, Jose. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas ed.10. EGC : Jakarta.

Lesson, T.S.; Paparo, A.A.; dkk. 1995. Buku Ajar Histologi. EGC : Jakarta

Moore, Keith L. 2003. Anatomi Klinik Dasar. Hipokrates : Jakarta.

Robbins, Kumar C. 2007. Buku Ajar Patologi ed.7. EGC : Jakarta.

Sneel, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran ed.6. EGC : Jakarta.


No comments: